Riuh.
suara motor dan angkot bersahut-sahutan, tidak ada yg mau mengalah, dari kursi penumpang angkot biru laut, dua lelaki paruh baya menatap jalanan, ekspresi wajah mereka khawatir. "jancuk" sahut salah seorang dari mereka, "isok telat iki" (bisa terlambat ini)
lelaki yg satunya menoleh, ia mengkerutkan dahi, menatap kawannya, "mbok pikir koen tok sing gopoh" (kamu kira, cuma kamu seorang yg khawatir)
"halah" "wes mlayu ae, gak nutut iki nek nuruti ngene iki" (lari saja yuk, gak sempat ini kalau kita nungguin ini)
mereka sepakat,
lantas, mereka melompat dari dalam angkot, mulai berlari menuju jalanan stasiunt, berjibaku dengan orang lalu lalang, mereka abaikan keringat didahi, menembus lautan orang yg sibuk dengan urusan mereka masing2, satu yg mereka harus tuju, kereta yg akan membawa mereka pergi.
"goblok koen Gus, mene nek kate onok urusan, ojok tambah ngejak maen gaplek" (bodoh kamu gus, kalau besok ada urusan seharusnya gak kamu ajak aku maen gaplek)
Agus, lelaki gondrong dengan kumis tipis itu tertawa sembari menghela nafas panjang, ia merasa geli atas apa yg terjadi
"Halah. nyocot! sing penting kan menang, oleh duwek akeh" (bacot, yang penting kemarin menang kan, dapat duit banyak) ucap Agus, gemas, ia jitak kepala Ruslan, kawan yg akan menemaninya
sebelumnya, Agus dan Ruslan setuju, daripada nganggur, lebih baik mereka ikut kawan,
meski hanya sebagai kuli bantuan, tapi setidaknya, darisana mungkin hidup mereka akan berubah, tidak lagi harus mendengar kiri kanan tetangga yang mengecap mereka sebagai pengangguran yg gak punya masa depan. kereta melaju, jauh. meninggalkan kota kelahiran Agus,
disini, kehidupan baru bagi Agus dan Ruslan, akan dimulai.
Agus yg pertama turun, diikuti Ruslan, mereka melihat sekeliling, harusnya, kawan mereka akan menjemput di stasiunt ini, namun, ia hanya melihat orang lalu lalang, tidak ada tanda kawan mereka
"asu arek iki Gus, dibelani adoh2 gak disusul" (anj*ng, anak ini, dibelain jauh2 eh,
-gak dijemput)
Agus mengangguk setuju, lantas, ia duduk, mengeluarkan sebatang rokok yg ia simpan di kantung celana, sial. gumamnya, hidupnya sulit, sebatang rokok yg bengkok pun, terpaksa ia hisap, kini, jadi kuli terdengar masuk akal baginya, seenggaknya, ia bisa makan nasi lg
Ruslan hanya melihat orang2, lebih tepatnya, melihat perempuan2 cantik yg lalu lalang, tidak ada rokok untuknya, jadi, daripada melamun, Ruslan tahu bagaimana memaksimalkan kemampuannya untuk menikmati pemandangan
tak beberapa lama, terdengar suara teriakan familiar, ia datang
"ayok"
Agus dan Ruslan mengikuti. "numpak opo iki" (naik apa kita) ucap Ruslan,
"numpak bis lah, iki jek adoh ambek nggone" (naik bus lah, ini tempatnya masih jauh soalnya)
Agus tidak banyak komentar, ia sudah diberitahu, kerjaan mereka tidak jauh dari kuli untuk bendungan
disepanjang perjalanan, Agus hanya melihat jalanan, mereka menaiki Bus antar kota, menjelaskan setidaknya kemana mereka akan pergi.
Koco, kawan yg mereka kenal dari warung kopi memang tidak banyak memberitahu soal pekerjaan ini, kecuali mereka butuh tenaga tambahan,
bahkan, Koco tidak memberitahu, bahwa nanti, Agus dan Ruslan, tidak akan tinggal di Mes tempat para kuli resmi tinggal, Agus dan Ruslan, hanya tahu, bahwa ada rumah yg siap menampung mereka, selama mereka bekerja di tempat ini.
"gratislah" kata Koco, "wes kere mosok jek dijaluki duwik, wes santai ae" (gratislah, masa kalian sudah susah, masih dimintai duit untuk tinggal, santai saja)
Ruslan hanya menatap Agus, bila ada yg gak beres dari suatu pekerjaan, adalah sesuatu yg berbau "gratis"
Agus nyengir, buang air saja bayar, ini, tinggal di rumah orang masa gratis. kalau gak rumah setan, ya rumah orang gak waras. tapi dilain hal, Koco meyakinkan Agus, bahwa rumah itu gratis karena sudah dibayar setahun penuh, dan pekerja sebelumnya sudah pamit pulang.
"pamit pulang kenapa mas?" tanya Agus.
"gak eroh" (gak tau) kata Koco, "isterine ngelahirno, jarene" (isterinya melahirkan, katanya) Koco mengangkat bahu, tanpa sadar, Bus memasuki daerah yg semakin malam, semakin sepi, sunyi, Agus masih tidak yakin, "sing liane" (yang lainnya?)
"muleh pisan" (pulang juga) "gak kerasan" tutur Koco, dan kemudian, ia berdiri. "wes totok" (sudah sampai)
Ruslan dan Agus, mengangkat tasnya, mengikuti Koco yg sudah melangkah turun, pertama kali melihat Desa itu, Agus hanya melihat sebuah desa biasa saja, tak ada yg aneh
tidak ada yg aneh, kecuali, Koco
Koco menunjuk sesuatu, sebuah jalanan lurus, setelah memasuki desa, Koco mengatakannya
"Omah sing bakal mok nggoni, lurus ae yo, wes ra usah menggak menggok, gampang kok ancer-ancere, yo" (rumah yg nanti akan kalian tinggali, lurus saja ya,
-gak perlu belak-belok, mudah kok posisinya) sahut Koco, sebelum menyalakan sebatang rokok, melipir pergi ke sudut desa lain, Agus dan Ruslan hanya saling menatap bingung, sebelum, bersama, mereka pergi.
Agus menelusuri jalan setapak, gelap, tentu saja. Ruslan mengikuti dibelakang, tidak ada bedanya sama jalanan di desa Agus, hanya saja, mungkin karena tempat asing, suasana itu, membuat mereka merinding. "Koco Asu" umpat Ruslan, Agus setuju.
saat mereka sampai diujung jalan,
Agus dan Ruslan tidak lagi melihat ada jalan setapak, kecuali, rumput setinggi mata kaki, didepannya, ada kebun pohon jati yang menjulang tingg, Agus dan Ruslan melihat disana-sini, tidak ada jalan, lelah bila harus kembali, Agus menembus masuk ke kebun jati seorang diri.
tak beberapa lama, Ruslan mengikuti.
dibawah pohon jati, Agus menahan diri, sejak kecil, ia memang biasa dengan tempat seperti ini, namun Ruslan berhati-hati, pekerjaan yg sempat membuatnya bersemangat tiba-tiba seperti mati rasa, perasaannya tidak enak, tapi selama ada Agus,
Ruslan merasa semua akan baik-baik saja.
baik-baik saja, sebelum, Ruslan melihat tempat tinggal mereka, sebuah rumah yang ada dibalik kebun jati.
Rumah kayu, berdiri sendiri, dengan petromaks yg sudah menyala, pintunya terbuka, Agus, mendekatinya.
"gus, Rumah setan pasti gus" ucap Ruslan,
"iya, rumah siapa lagi yg kaya gini kalau gak rumah setan" Agus menimpali, tapi ia, tetap mendekati, di pintu rumah, tercium aroma makanan,
Ruslan semakin yakin,
sampai, dari dalam, muncul si pemilik rumah
"wes tekan ya, monggo" (sudah datang ya, silahkan)
mata Agus bertemu dengan mata seorang wanita, usianya mungkin lebih tua dari Agus, sosoknya ramah, ia mengangguk saat Agus berdiri di depan pintu, ia melewati Agus, Ruslan melangkah masuk, mengamati makanan yg tersaji di meja
namun, Agus mengatakannya secara tiba-tiba.
"saya mencium lemah layat dari makanan itu"
si wanita menoleh, menatap Agus, ia tersenyum, mengangguk, sebelum pergi, Agus baru tahu, ada Rumah lebih besar, tidak jauh dari tempat ia berdiri..
Agus menutup pintu.
"gak usah dimakan Rus, biarin aja" ucap Agus, ia memandangi rumah besar disebrang dari jendela, Ruslan mendekati. "prosoko gak onok omah iku loh gus mau" (perasaanku tadi, gak ada rumah loh disitu)
"Rumahe demit" kata Agus tertawa, membuat Ruslan kesal
"goblok" sahut Ruslan, "aku eroh awakmu ngelmu, tapi yo ojok ceplas ceplos ngunu, awakmu nantang iku jeneng'e" (aku tahu kamu dulu suka ngilmu, tapi jangan begitu ngomongnya, itu kaya kamu nantangin dia) sahut Ruslan, khawatir
"iya, Rus, paham aku, aku cuma mau lihat reaksinya"
"itu makanannya gimana"
"biarin aja, besok juga udah dimakan ulat" Agus menutup tirai jendela.
"berarti temenan gak beres omah iki" (berarti rumah ini memang gak beres ya)
Agus duduk, sembari melihat makanan didepannya. ia melihat Ruslan yg masih penasaran.
"guk omahe sing gak beres, tapi lemahe iki sing gak beres" (bukan rumahnya yg gak beres, tapi tanah tempat rumah ini berdiri yg tidak beres)
"lemah" (tanah) sahut Ruslan,
"Omah iki ngadek gok ndukure, lemah tapal" (Rumah ini, berdiri diatas tanah Tumbal)
Agus berdiri, ia berkeliling rumah, sebenarnya, daripada rumah, tempat ini lebih terlihat seperti gubuk kayu reot, hanya ada 2 kamar dan satu dapur, selebihnya ruang tamu dan pekarangan, namun, ada rumah yg lebih besar persis didepannya, rumah itu, bukan rumah demit, seperti-
yg Agus katakan, namun, rumah itu adalah rumah manusia. Agus pun mengatakannya pada Ruslan agar ia tidak bertanya lagi, "perempuan tadi, itu Gundik'colo"
Ruslan kaget bukan main saat mendengarnya. "masa, masih ada perempuan seperti itu"
"iya" agus mengangguk, "kelihatan
"dari aroma dan cara dia berjalan kelihatan sekali dia Gundik'colo"
Ruslan geleng kepala,
"serem juga ini tempat, pergi gak kita ini" sahut Ruslan,
"gak usah, yang penting, hati-hati aja sama tuh perempuan" batin Agus, matanya melihat sudut dapur,
"lihat apa"
"Pocongan"
"matamu" kata Ruslan,
Agus hanya geleng-geleng kepala,
"ada berapa?"
Agus menatap Ruslan, "masih 7 sih Rus, kayaknya nanti malam keluar semua" Agus pun menutup pintu dapur, "biarin lah" Agus melipir ke kamar, diikuti Ruslan, "Asu" umpatnya berkali-kali
Malam itu, masih awal dari segalanya. manakala Agus sudah terlelap dalam tidurnya, Ruslan mengintip dari jendela kamarnya, disana, jauh ditempat rumah tempat perempuan itu tinggal, ia tengah berdiri tepat di jendelanya, tengah menatap tempat Ruslan mengintip.
"Asu koen Gus, gara2 lambemu, aku gak isok turu" (Anj*ng kamu gus, gara2 mulutmu, semalam gak tidur aku) sahut Ruslan mengejar Agus yg sudah menyampirkan tasnya, bersiap menemui Koco yg sudah menunggu diluar rumah, beberapa kali Agus melirik Ruslan, senyumannya mengembang
"sing ngongkon awakmu gak turu iku sopo" (yg nyuruh kamu gak tidur itu siapa) sahut Agus, cengengesan, sampai didepan, Agus membuka kain yg ia gunakan untuk menutupi makanan, ketika kain dibuka, Ruslan melompat, melihat makanan semalam, dipenuhi belatung yg memakan saripatih
bau busuk langsung menusuk hidung Agus dan Ruslan.
"bosok" (busuk) ucap Agus, "ayo wes, kawanen" (yasudahlah, kesiangan kita)
Agus dan Ruslan melangkah keluar, tepat di depan rumah, tiba-tiba, mereka berhadapan dengan perempuan itu, ia menunduk, mengucap "monggo"
Agus ikut menunduk, kemudian, melewatinya.
Ruslan yang sedari tadi memperhatikan, melihat gelagat mata perempuan itu yg mengikuti sosok Agus yg terus berjalan cepat, di sudut bibirnya, perempuan itu tersenyum, namun, Agus tidak tahu akan hal itu.
"he, gus, wong iku mau ngguyu loh ndelok awakmu, gak wedi ta" (gus, orang tadi senyum loh lihat kamu, gak takut)
"tresno paling ambek aku" (suka kali sama aku) sahut Agus, tertawa-tawa
"gak wedi di senengi ambek ngunu iku" (gak takut kamu di sukai yg seperti itu)
"gak, iku ngunu jek menungso kok" (gak lah, bagaimanapun, dia masih manusia kok)
lama mereka berjalan di bawah kebun pohon jati, sampailah mereka di jalanan setapak, menuruni jalan utama, sebelum melihat Koco dan semua teman-temannya, Agus dan Ruslan bertegur sapa
sebelum memulai pekerjaannya.
Ruslan masih kepikiran ucapan Agus semalam, semuanya berputar dalam kepalanya, mulai dari tanah layat, pocong sampai Gundik'colo, semua itu, tidak asing baginya, kecuali, masih ada perempuan seperti itu di jaman seperti ini.
seujujurnya, ia takut sekali, namun Agus, aneh
hari mulai petang, Agus dan Ruslan kembali, manakala ia mau melewati jalan ke pohon jati, kebetulan, mereka berpapasan dengan seorang lelaki tua pencari rumput, lelaki itu, melihat Agus dan Ruslan bergantian.
"kalian yg tinggal di rumah Lastri"
"iya" kata Agus,
"kalian sudah tahu, ada apa disana" ucap lelaki tua itu lagi, ia kali ini hanya melihat Agus,
"iya bapak, saya tahu" sahut Agus,
"yowes" katanya, "jangan sembrono yo le" si lelaki tua pergi, melewati Agus,
dari jauh, siluet hitam perempuan itu terlihat di ujung jalan
Ruslan yg pertama melihatnya, manakala saat Agus melihatnya, perempuan itu berjalan pergi, Agus dan Ruslan hanya berpandangan, lalu melanjutkan perjalanan ke rumah.
"aneh gak seh" (aneh gak sih) kata Ruslan, "wong iku koyok golek molo" (perempuan itu kaya cari masalah sama kita)
Agus hanya mendengar Ruslan bicara, saat sampai di tanah terbuka, Agus melirik rumah besar itu, meski sama-sama terbuat dari kayu, namun, kesan ngeri saat melihatnya tidak dapat dikesampingkan, hal yg sama, seakan setiap hari, rumah itu menunjukkan tajinya kepada Agus
Agus membuka pintu, ia tidak lagi melihat makanan diatas meja, semua sudah di bersihkan
"aku adus dilek yo" (aku mandi dulu ya) kata Agus, ia menuju dapur, dibelakangnya ada pintu lagi, disana ada sumur tua, Ruslan, memilih merokok di teras, rokok yg ia rampas dari Koco
manakala ketika Ruslan menikmati kepulan asap rokok di teras rumah, Ruslan melihat sesuatu mengintip dari balik kebun pohon Jati
Ruslan mendelik, ia tidak salah lagi, yg mengintip itu pocong,
"Jancok!!" ucap Ruslan, melipir masuk ke rumah, menuju tempat Agus mandi
kebetulan, Agus baru selesai, ia melihat Ruslan, rokok dimulutnya mengepul tanpa ia sentuh
"pocongan ya" kata Agus, sembari mengeringkan rambutnya "itu di kamar mandi ada dua"
Ruslan mengikuti Agus, "pindah ae loh Gus, gak sreg aku nang kene" (pindah aja yuk, gak tenang aku)
saat itulah, Agus mengintip Rumah besar itu dari jendela, matanya seperti tengah mengawasi,
"gini, Rus" kata Agus serius, ia tidak pernah seserius ini, "Tanah tapal biasanya dipakai oleh orang kaya atau gak orang berpengaruh, sekarang pikir, kira-kira ada apa ya di rumah itu"
"ya mungkin dulunya tanah ini tanah tapal, tapi belum di bersihkan, ya kali, dikira aku gak tau, ngebersihan tanah kaya gini sih gak sembarangan dan jarang orang mau, bahkan orang ngilmu kaya kamu, gak bakal mau bersihin kan" kata Ruslan, ia masih melihat Agus yg masih mengawasi
"tau aku maksudmu Rus" kata Agus, sekarang ia duduk, "gunanya perempuan itu apa coba" "udah di tanah tumbal, eh di jaga sama Gundik'colo lagi, aku penasaran, yg punya siapa ya, aku jadi pengen tahu" Agus mengedipkan mata melihat Ruslan, saat itu Ruslan menyadarinya..
"Cok" kata Ruslan yg baru sadar arah pembicaraan Agus, "koen kate nyolong opo sing gok jeroh omah iku ya" (kamu mau mencuri sesuatu yg ada di dalam rumah itu kan) "Gila kau, itu perempuan gak sembarangan ya, cari mati kamu" Ruslan tak sanggup bicara lagi,
"bukan aku, kita"
"Matamu gus" "awakmu dewe ae, pantes, ket pertama wes disuguhi barang gak bener ambek sing nduwe omah" (Matamu, kamu aja, pantas, dari awal, sudah dikasih sesuatu yg gak masuk akal sama yg punya rumah)
"Halah" Agus tertawa, "gak lah, aku yo gak gendeng" (aku juga gak segila itu)
"aku itu cuma penasaran aja, kerjaan itu perempuan jagain apa, atau gak, ngapain dia, kalau pocongan yg dibelakang kamu kan, cuma bisa ngelihatin kita, gak bakalan ngapa-ngapain, nah, masalahnya tuh perempuan juga ngawasi kita, pasti ada sesuatu" sahut Agus,
Ruslan, diam.
"Gus boleh tanya" Ruslan mencoba untuk tenang, Agus mengangguk, "kata orang, tanah tumbal kalau dijaga pocong, tanahnya, ditanami kain kafan dari orang yg meninggal, itu betul?"
Agus mengangguk,
"dan kain kafan yg meninggal'pun gak sembarangan, harus jumat kliwon, betul?"
Agus mengangguk lagi,
"berarti, berapa banyak, kain kafan yg ditanam di dalam tanah ini?" Ruslan menunggu Agus bicara
Agus tampak berpikir, "seratus kayanya"
Ruslan menelan ludah, "ada seratus pocong disini gus"
"iya" kata Agus, "di luar, masih banyak yg berdiri lihatin kita"
Ruslan berdiri, ia menyesap rokok, tinggal 2 batang lagi, saat Agus meminta sebatang, Ruslan menolak, "Matamu, aku yo penasaran dadine, opo yo sing onok gok jeroh omah iku" (Matamu, aku kok jadi penasaran juga, apa ya yg disembunyikan disana)
"mau lihat gak" sahut Agus,
"oke"
Agus membuka pintu, diikuti Ruslan, "Loh loh, kok sak iki, gak engkok rodok bengi tah" (Loh loh, kok sakarang, gak nanti lebih malam tah)
Agus tetap berjalan, Ruslan kebingungan, mereka sampai di depan pintu, Agus mengetuknya, dan perempuan itu muncul, melihat Agus dan Ruslan
"daripada saya penasaran, saya mau tanya sama anda, anda ini jaga apa sebenarnya?" kata Agus, Ruslan hanya melongo melihat kawan baiknya yg sudah hilang otak,
perempuan itu tersenyum, mengangguk, lalu berujar lirih, "mongg mas," (silahkan masuk mas)
Agus, melangkah masuk
Ruslan mengikuti dibelakang, ia melihat perempuan itu yg masih menunduk, memberi hormat pada mereka, setelah Agus dan Ruslan duduk, ia menutup pintu, menguncinya
"saya kebelakang dulu untuk mengambil makanan, terima kasih, saya tidak perlu melakukan hal buruk pada anda"
"Goblok" ucap Ruslan, "kamu gak bilang maksudnya lihat itu begini, aku kira nanti malam kita sembunyi buat lihat sendiri"
Agus hanya diam, ia tidak menggubris mulut Ruslan, tiba-tiba, perempuan itu muncul, "mas Agus benar, bila kalian datang sembunyi2, kalian bisa celaka!!"
"mbaknya tahu namanya Agus darimana?" tanya Ruslan,
"saya pun tahu, nama anda Ruslan" perempuan itu meletakkan dua gelas kopi, tangannya begitu telaten, termasuk saat menghidangkan jajanan pasar itu, Ruslan tidak lagi bicara, ia fokus pada ekspresi perempuan itu yg datar.
"saya sudah sering melihat petaka dimulai dari ketidaktahuan dan rasa penasaran, sejujurnya, hal itu memang bersifat lumrah dan dimiliki oleh setiap manusia, termasuk anda, jadi, apakah semua sudah jelas mas Agus"
Aagus hanya diam, keningnya berkeringat, Ruslan baru menyadarinya
Agus tidak banyak bicara, ia meraih segelas kopi, menyesapnya perlahan, kemudian melirik Ruslan, "kopinya aman Rus, diminum saja"
Ruslan pun merasa canggung, ia tidak mengerti, perempuan itu duduk, dan tidak memandang mereka, matanya kosong melihat tempat lain
dengan perlahan, perempuan itu menengok pada Agus dan Ruslan, "kalian masih ingin tahu ada apa disini?"
Agus dan Ruslan diam saja, tidak ada pembicaraan lagi, saat Agus kemudian mengatakannya, "terimakasih suguhannya, saya pamit mbak Lastri" Agus berdiri, perempuan itu mengangguk
Ruslan merasa aneh, ia tahu, Agus tiba2 berubah semenjak ia melewati pintu, seperti ada sesuatu yg tidak dapat ia katakan, manakala mbak Lastri sudah membuka pintu, Agus dan Ruslan melangkah pergi, ketika tiba-tiba, Ruslan tercekat, di luar rumah mbak Lastri, berjejer pocong
Agus dan Ruslan bergegas pergi, ia mencium aroma busuk yg membuat Ruslan menutup hidung, meski Agus berjalan biasa saja, ia seperti melamun, matanya kosong, Ruslan segera menutup pintu, ia melihat pocong-pocong itu menatap rumahnya, disana, perempuan itu masih berdiri di pintu
"ada apa gus sebenarnya?" tanya Ruslan, Agus hanya bengong, matanya benar-benar kosong
karena lelah menunggu Agus menjawab, Ruslan memberikan sebatang rokok dimulut Agus, beberapa saat kemudian Agus seperti baru sadar, "Cok, minggat yok" (pergi yuk)
Ruslan, heran
Agus masuk ke kamar, memasukkan semua bajunya ke tas secara serampangan, Ruslan yg masih kebingungan lantas, mendorong Agus bertanya dengan kesal "Onok apa sakjane" (ada apa sih sebenarnya) "koen mau loh gak ngene, opo gara2 kopi mau" (kamu tadi loh gak papa, apa karena kopi)
Agus menggeleng, "kopinya gak papa Rus, tapi" Agus menelan ludah, seperti lidahnya keluh,
"kamu sih bodoh, ngapain nyamperin ke rumahnya, jadi gini kan sekarang" Ruslan menatap Agus kesal, "itu pocong pasti sengaja biar aku lihat kan, sialan si Lastri"
"aku kasih tahu ya Rus" kata Agus, "ini adalah tanah tumbal, kamu dengar sendiri kan, gimana ucapannya kalau kita sembunyi2 cari tahu, dia ngancam itu sebenarnya, satu yg harus kamu ingat dalam kepalamu, kalau kamu niat buruk ke tanah tumbal, nasibmu bisa tragis"
"jadi karena itu, kamu datangin dia langsung" tanya Ruslan,
"iya, buat minta ijin, kalau dia ngasih tahu"
"trus, dia sudah ngasih tahu apa yg dia lakukan" Ruslan melihat gelagat Agus berubah, Agus membelakangi Ruslan, "dia perempuan yg gila rus, aku, mencium aroma darah disana"
"darah apaan?" "darah pocong kali yg kita lihat tadi" sahut Ruslan
"gak gak gak!!" sahut Agus"aku pernah cium aroma kaya gini, ini bukan darah karena luka, ini darah, apa ya" Agus tampak berpikir, "darah yg baunya amis sekali, darah perjanjian" Agus langsung sadar, "perjanjian
"tumbal maksudmu, pocong tadi" Ruslan masih bingung,
"goblok kamu ya Rus," "Tumbal itu gak harus manusia" kata Agus mulai kacau, "tanah Tumbal, itu maksudku, tanah ini di tanami bermacam-macam tumbal, ada kain pocong, rambut yg punya rumah pun bisa jadi tumbal, tumbal binatang"
"orang dulu, terutama mereka yg punya nama, menggunakan bermacam-macam tumbal, agar tidak ada yg punya niat buruk bisa mencelakainya, tumbal pocong untuk menakut-nakuti saja, sama halnya dengan tumbal rambut si pemilik rumah, siapapun yg punya niat buruk, ia akan lihat si-
-pemilik rumah terus menerus, tumbal binatang, bahkan, tumbal rempah-rempah, seperti cabai, bawang merah dan putih, semua itu bisa jadi tumbal, asal, ada mantra perjanjiannya, tumbal manusia jarang digunakan untuk menjaga rumah, tapi, saat aku masuk ke rumah itu,-
"ada sesuatu yg gak beres, sesuatu, yg gak bisa aku lihat, hanya tercium aroma amis darah itu, menyengat sekali, sampai membuatku ketakutan, ini gak biasa, ini, diluar apa yg aku tahu, perempuan ini, dia sesuatu yg sangat hitam, ancuk lah" sahut Agus, ia semakin kacau, tiba-tiba,
terdengar suara pintu di ketok dengan keras,
"Tok!! Tok!! Tok!!"
Agus dan Ruslan, berpandangan satu sama lain.
Agus berjalan keluar kamar, Ruslan memandang dari dalam, ia mengintip, siapa yg mengetuk pintu, saat Agus membuka pintu, Ruslan melihat mbak Lastri, ia membawa piring dengan jajanan pasar, terdengar ia berbicara dengan Agus,
"makanannya tadi belum dimakan mas"
Lastri, melirik..
"tenang saja, makanannya saya beli dari pasar, jadi, gak ada lemah layatnya"
Agus hanya mengangguk, sementara Ruslan masih mengawasi, terjadi percakapan antara Agus dan mbak Lastri, namun, Ruslan tidak bisa mendengarnya,
"saya tunggu jawabannya mas"
mbak Lastri pergi.
Agus meletakkan begitu saja piring itu lantas menatap Ruslan,
"ada apa gus?"
"COK!!" ucap Agus, ia kemudian duduk, dan menutupi wajahnya, tidak ada yg mau ia bicarakan sama Ruslan, namun, Ruslan tahu sesuatu, mereka belum boleh pergi.
Agus benar-benar tidak mau bicara lagi, lantas ia masuk ke kamar lalu tidur, Ruslan pun mengikuti, meski seranjang, Ruslan merasa pasti mbak Lastri mengatakan sesuatu, apa itu, entahlah,
malam kian larut, baru saja Ruslan memejamkan mata, ia mendengar lagi, suara pintu di ketok
Anehnya, suara pintu diketuk tidak terdengar dari pintu depan, melainkan, pintu belakang, Ruslan beranjak dari ranjang, ia ingin membangunkan Agus namun, ia merasa tidak enak,
keluar dari kamar, Ruslan, berjalan menuju pintu belakang, ia terdiam, di depan pintu. ragu utk membuka
semakin lama, ketukan pintu semakin intens, Ruslan akhirnya membuka pintu, saat ia melihat,
seorang anak muda,
anak muda yg usianya masih 20'an, anak itu menatapnya, ekspresinya ketakutan dengan keringat di bajunya,
"mas tolong, mas, ijinkan saya masuk, tolong"
Ruslan, diam
"ngapain malam-malam kamu kesini" tanya Ruslan, si anak lelaki sempat bingung, bibirnya gemetar, namun, kembali dia meminta tolong, dan meminta Ruslan mengijinkannya masuk,
"sopo Rus?" (siapa Rus?) tanya Agus tiba-tiba muncul, ia menatap anak muda itu, ekspresi wajahnya berubah
Agus mendekat dengan cepat, mencengkram baju anak itu, menariknya masuk, kemudian menutup pintu, wajah Agus terlihat panik
"GOBLOK!! kamu maling di tanah tumbal? cari mati kau!!"
Ruslan baru sadar apa yg terjadi, ia menatap anak lelaki itu yg kini ketakutan, Ruslan ikut panik
belum selesai pembicaraan Agus, tiba-tiba, pintu depan di ketuk,
"tok tok tok"
Ruslan dan Agus, menatap pintu, mereka terhenyak, Agus mendorong masuk anak itu ke kamar, menyembunyikannya di bawah ranjang,
Ruslan membuka pintu, ia melihat mbak Lastri, berdiri dengan parang
wajah mbak Lastri, melotot, dengan senyuman segaris nyaris seperti menahan luapan amarah, di tangannya, mbak Lastri mengenggam parang
"ada apa lagi ya mbak" kata Ruslan, ia melihat gelagat mbak Lastri yg kemudian matanya menyapu isi dalam rumah, meski kakinya belum beranjak
"ndelok Tekos kebon gak" (kamu lihat tikus kebun), mata mbak Lastri masih mencoba melihat-lihat isi rumah, namun, Ruslan menghalangi, wajah mbak Lastri semakin tidak enak untuk dilihat,
"minggir, ben tak pedote sikile" (minggir, biar ku potong kakinya) sahut mbak Lastri
mbak Lastri mendorong Ruslan, dengan langkah kaki cepat ia menyibak tirai kamar tempat dimana Agus dan Ruslan biasa tidur,
jantung Ruslan rasanya mau copot, terutama, ketika sorot mata mbak Lastri menatap tajam Ruslan setelah ia melihat isi kamar,
"mati aku" batin Ruslan
mbak Lastri berbalik, tapi sebelum melewati Ruslan, ia mengingatkan, "kancamu asline wes eroh, nek iku bakal mati kok, cuma sampekno, ojok jeru-jeru nek melu urusan sing gak dingerteni" (sebenarnya temanmu sudah tahu, dia akan mati kok, cuma sampaikan jangan terlalu ikut campur)
Ruslan mondar-mandir sepanjang malam, jantungnya terus berdegup kencang, tidak ada Agus dan bocah itu dalam kamar, rokok pun habis, kepala Ruslan seperti ditusuk-tusuk, ia gelisah, berjam-jam, Agus dan bocah itu hilang, "kucur" (sensor)(kemana manusia-manusia itu)
pintu terbuka
Agus melangkah masuk, nafasnya tersenggal, badannya bermandikan keringat, ia langsung meneguk air dalam ceret sampai habis sebelum membantingnya
"GOBLOK!!" umpatnya saat melihat Ruslan, "Mati arek iku" (pasti mati anak itu)
Ruslan teringat ucapan mbak Lastri, ada apa sebenarnya
Ruslan mendekati Agus, ucapan mbak Lastri dan Agus nyaris sama persis, namun, hanya dia yg belum memahami situasi, ia tampak berpikir, namun isi kepalanya sudah mentok, dengan pelan, Ruslan mengatakannya kepada Agus,
"maksudmu opo" (maksudmu apa)
Agus, mendelik menatap Ruslan,
"aku bar ngekekno cah iku gok Lastri, ben arek iku isok urip" (aku mau memberikan anak itu kepada Lastri, biar dia bisa hidup), "tapi cah kui, malah mencolot gok jendelo" (tapi anak itu malah melompat lewat jendela), "langsung ae tak kejar, ben uripe jek dowo, kan eman"-
(langsung saja, aku kejar, sayang hidupnya masih panjang)
Ruslan yg mendengarnya langsung bereaksi, "Stress koen Gus, sing onok, cah iku bakal di bacok ambek Lastri" (gila kamu ya, yg ada, anak itu bisa di potong sama Lastri)
"justru iku" "paling derijine tok sing dipedot"
(justru itu, paling hanya jari-jemarinya yg dipotong)
Ruslan, semakin bingung. namun Agus mengerti, Ruslan belum mengerti, lantas, ia mengulangi ucapan yg pernah ia katakan itu lagi, agar, Ruslan ingat.
"jangan membuat masalah, diatas Tanah Tumbal, apalagi, untuk mencuri"
"gimana gimana" kepala Ruslan seperti dibenturkan ke tembok, ucapan Agus terlalu berbelit
lantas, Agus duduk, ia memandang Ruslan, wajahnya tidak bisa dibaca, bahkan oleh Ruslan sekalipun, yg sudah mengenal Agus luar dalam
"nduwe rokok gak?"(punya rokok gak)
"gak" ucap Ruslan
"aku tadi ngejar anak itu, kenceng banget larinya udah kaya kijang, dari situ aku jadi yakin, pasti ada apa-apa sama anak ini" Agus diam "anak ini disuruh oleh orang untuk melakukan sesuatu disini, hal yg paling bangs*t! adalah, anak itu tidak tahu, tanah apa yg ada disini"
"dia ada yg nyuruh" sahut Ruslan, Agus mengangguk,
"anak itu sudah ketahuan, pantas saja, itu pocong sampe ngumpul kaya tadi, ternyata, mereka nungguin anak ini" "masuk ke tanah tumbal, gak bisa seenaknya kaya gitu, harus dapat ijin yg punya, sedangkan, yg punya bukan Lastri"
"lalu, hubungannya Lastri bawa parang apa?!" ucap Ruslan,
"dia mau nolong anak itu, kalau anak itu mau selamat, dia harus minta ijin sama yg punya tanah ini, tapi itu kan gak mungkin, jadi, Lastri akan ambil apa yg harus di ambil dari anak itu, yaitu, jari-tangannya"
"kalau Lastri gak melakukan itu" Ruslan menatap Agus, ia melihat Agus menatap kosong apa yg ada didepannya, lantas ia berdiri, lalu masuk ke kamar
Ruslan langsung sadar, ia teringat dengan maksud kedatangan Lastri tadi, sekarang ia tahu, alasan kenapa mereka belum boleh pergi,
pagi itu, berjalan seperti biasanya.
Agus tidak banyak bicara seperti sebelumnya, ia sudah bersiap menuju tempat kerja, Ruslan hanya mengawasi, ia tidak mau membahas kejadian semalam.
Agus melihat sebungkus nasi di meja "aku yg bungkusin makanan itu subuh tadi gus" kata Ruslan,
setelah mendengar kata Ruslan, Agus baru mau membuka makanan itu, aneh. Agus yg sekarang dilihat Ruslan, seperti bukan Agus yg biasanya
"kenapa tadi diam, takut makanannya dari mbak Lastri, biasanya kan, langsung tau dari aromanya" canda Ruslan, yg tidak ditanggapi sama Agus
seusai Agus makan, mereka bersiap berangkat bersama, Agus masih tidak banyak bicara, namun, seperti tersentak, manakala baru keluar dari pintu, mbak Lastri berdiri di teras rumah, di tangannya, ia tengah memegang gagang sapu.
ia berdiri, tersenyum, menyapa mereka..
"ngeri" batin Ruslan, dilihat darimanapun, wajah mbak Lastri tidak memiliki emosi, matanya besar, hidungnya mancung, kulitnya sawo matang, dengan rambut disanggul, karismanya, membuat Ruslan sadar, Gundik'colo rupannya memang gila seperti cerita2 yg tersebar..
Ruslan menunduk
baru juga Ruslan melewati mbak Lastri, Agus tiba2 diam berdiri di depan mbak Lastri, Ruslan ikut berhenti, ia menatap mbak Lastri yg memberikan sesuatu kepada Agus, namun, Agus buru-buru memasukkannya kedalam saku, seakan menyembunyikannya dari Ruslan, sorot mata Agus kaget
"dia ngasih apa Gus" tanya Ruslan,
Agus hanya menggeleng, ia tetap berjalan, seakan mengabaikan Ruslan, kesal, Ruslan menarik tangan Agus, memintanya bercerita, terpaksa Agus mengambilnya dari saku celananya, ia, mengeluarkan setangkai bunga kamboja, Ruslan melotot menatap Agus
Koco sudah menunggu bersama yg lainnya, ia membagikan jatah rokok hari ini kepada Agus dan Ruslan, namun, Koco merasa hari ini ada yg berbeda dengan dua kawannya
"onok opo toh iki, raine gak mbois blas" (ada apa sih ini, kok mukanya pada gak enak)
Ruslan melewati Koco "nyocot"
Agus dan yang lainnya segera naik ke mobil pick up yg akan mengantarkan mereka ke tempat kerja, melewati rumah-rumah warga
dari semua orang yg ada disana, hanya Koco yg juga merasa Agus jadi aneh, ia melihat Ruslan, memberi isyarat "kenapa sih Agus" namun Ruslan tidak perduli.
jalan menuju lokasi kerja harus melewati jalan setapak yg hanya cukup dilalui satu mobil, disamping kiri ada perkebunan warga, disamping kanan tebing rumput, dengan sungai beraliran deras,
Ruslan merokok sambil melirik Agus, pikirannya kosong, disenggol beberapa kalipun, Agus-
tidak peduli, tiba-tiba, terdengar ramai orang tengah berkumpul disana, semua orang lantas berdiri di atas mobil pick up, mencari tahu ada apa, termasuk Agus dan Ruslan, mereka melihat warga menuruni tebing,
Koco yg saat itu dekat dengan satu warga yg mendekat langsung bertanya
"onok opo cak" (ada apa pak)
"onok cah mati nang pinggir kali mas" (ada anak kecil meninggal di sungai)
Ruslan menatap Agus, lantas, mereka semua langsung ikut turun untuk melihat.
warga sudah ramai. "anak kecil dia bilang gus" kata Ruslan, "yg semalam kan anak gajah, sudah gak masuk anak-anak itu" bukannya tertawa, Agus justru ikut turun, melewati kerumunan warga, Ruslan yg merasa harus lihat juga terpaksa ikut Agus, ketika Ruslan berhasil, Agus mematung
"cok" Ruslan tertunduk, menyaksikan sosok yg ditarik itu adalah pemuda semala
ia menarik Agus namun, Agus menolak, Koco rupannya dari tadi memperhatikan, ia ikut menarik Agus, dan akhirnya mereka pergi
"aku mau ngomong sesuatu sama kalian" kata Koco, "harus tak sampein kayanya"
baru pertama kali, muka Koco tampak serius, sepanjang perjalanan, Koco tampak seperti mau bicara namun ia menahan semuanya, Ruslan dan Agus apalagi, mereka, sepanjang perjalanan tidak ingin bicara, pikiran mereka berdua, melayang-layang teringat wajah pemuda itu
turun di lokasi kerja, Agus tidak perduli dengan apa yg mau disampaikan Koco, ia memilih untuk mulai mengaduk semen bersama yg lainnya, hanya Ruslan yg mendengar Koco,
"ngene, koyok'e omah sing mok panggoni angker yo" (gini, kayanya, rumah yg kamu tempati itu angker ya)
Ruslan, diam. ia tidak tahu harus menanggapi apa yg baru Koco ucapkan.
"orang yg sebelumnya tinggal disana, itu mereka cerita kalau setiap malam, ada yg suka ngelihatin mereka" Koco tampak berpikir, "pocong sih katanya"
Ruslan masih diam.
"nah, sebelum mereka pergi, satu dari empat orang yg tinggal, dia kaya si Agus begitu, diem aja" ucap Koco
"terus" Koco tampak berpikir, lalu meminta Ruslan mendekat, saat Koco berbisik, Ruslan melotot menatap Koco, "Goblok. wes eroh koyok ngunu, aku ambek Agus ber mok kongokon nang kunu, Edan koen co!!"
(bodoh, sudah tahu kaya gitu, aku sama Agus malah disuruh tinggal disitu, gila!)
"loh aku juga cuma ngikutin peraturan, udah gak ada kamar di mes, rumah itu sudah dibayar setahun penuh" Koco mencoba membela,
"ya tapi, kamu gak bilang kalau ada kejadian begitu, tau tidak, perempuan depan rumah itu, Gundik'colo" sahut Ruslan,
Koco langsung diam.
"jangan ngawur kamu Rus" kata Koco "mana ada perempuan begitu jaman sekarang!! fitnah Rus, fitnah!!"
"Agus yg bilang, kalau kamu gak percaya, tinggal sama aku saja, masih ada satu kamar" kata Ruslan,
"Matamu!! gak mau aku" Koco menolak, "yakin, dia Gundik'colo, sakti dong!!"
"iya. sakti" kata Ruslan, "kalau dia mau, dia bisa gorok lehermu dari rumah"
Koco tidak bicara, ia seperti ingat sesuatu, tapi enggan mengatakannya, "gini Rus, si Agus, awasi dia ya, kalau ada aneh-aneh, bilang sama aku, aku kenalin sama seseorang" kata Koco,
"Asu koen co!!"
semenjak Ruslan tahu sesuatu, setiap ia sampai di rumah, Ruslan mengunci pintu, ia sering melihat ke jendela, matanya mengawasi rumah itu.
"Gus, kapan yg punya ini tanah datang"
"nanti Lastri ngasih tahu" ucap Agus,
"kamu sih nantangin perempuan itu" kata Ruslan,
"Rus, aku mau ngomong, kalau aku pergi, kamu di rumah aja, jangan kemana-mana ya" sahut Agus
"piye gus" tanya Ruslan, saat itu juga, suara pintu diketuk, Ruslan terhenyak sesaat menatap pintu
Agus, berdiri, ia membuka pintu, tepat disana, ada mbak Lastri, Agus menutup pintu
Ruslan hanya bisa diam, ketika Agus melangkah lebih dulu, dibelakang, mbak Lastri menunduk memberi salam pada Ruslan, tepat di tangannya, ia mengenggam pisau kecil yg biasa digunakan untuk memotong ari-ari,
"saya dulu, mas Ruslan" ucap Lastri, ia mengikuti Agus masuk rumah
Ruslan langsung lari, ia menembus kebun Jati, ia harus mencari Koco, menyampaikan apa yg ia lihat, tepat seperti apa yg Koco ceritakan siang tadi,
manakala, Ruslan berlari, ia mencium aroma kentang, sekeliling kebun Jati, dipenuhi pocong
"mas, tolong, bukake tali kulo" (mas, tolong, bukakan tali saya)
satu diantara mereka mendekati Ruslan, ia melayang hanya beberapa senti dari atas tanah, Ruslan gemetar, ia tidak mau melihat muka yg hancur dan berbau kentang itu,
Ruslan, lanjut lari..
syukur, Ruslan tahu dimana biasa anak-anak nongkrong, Koco sedang main kartu, saat Ruslan menceritakan Agus, Koco menelan ludah, ia buru-buru pinjam motor, mengajak Ruslan menemui seseorang,
selama diperjalanan, Ruslan hanya kepikiran dengan sorot mata Lastri, licik,
"Agus iku ngilmu tapi loro" (Agus itu ngilmu tapi sakit) "kalau tahu ada Gundik'colo, ya mending ngalah, gak usah ngelawan gitu to, wong pintar aja pikir-pikir kalau adu ilmu sama yg model begituan" sahut Koco, ia menambah kecepatan motor, menembus rumah warga
sesampainya disana, Koco buru-buru mengetuk pintu, namun, si pemilik rumah sepertinya tidak ada, rumah kayu itu ditutup rapat, Ruslan menatap kesana kemari, kepalanya sakit sekali, Agus seperti dipelet terang-terangan sama mbak Lastri, tapi apa ya bisa, Agus kepelet semudah itu
Koco terus memanggil, namun, tetap tidak ada jawaban, Ruslan yg sudah tidak sabar ikut mengetok pintu, saat, dibelakangnya, terdengar seseorang "cari siapa le" (mencari siapa dek)
Koco dan Ruslan berbalik, ia melihat lelaki tua dengan sak berisikan rumput, menatap mereka
Ruslan ingat dengan lelaki tua itu, ia suka mencari rumput di kebun jati, tapi, bila di ingat lagi, cari rumput kenapa harus malam seperti ini, apalagi, rumput yg dia ambil dari kebun jati tempat Ruslan melihat..
"malam pak" Koco memberi salam, mencium tangannya, Ruslan, diam
Koco menceritakan semuanya, lelaki tua itu hanya berdiri di ambang pintu, ia mengintip ke jendela, "pirang atus pocong iki sing ngejar awakmu le" (ini berapa ratus pocong yg ngejar kamu nak)
Koco ikut melihat jendela namun ia tidak melihat apapun, namun Ruslan, melihatnya..
"kamu pulang saja, teman kamu sudah gak bisa ditolong" sahut lelaki tua itu kepada Ruslan, namun, Koco mencoba bilang, "tapi mbah, yg dulu juga mbah kan yg nolongin"
"beda kasus itu le" kata si lelaki tua, "kalau yg ini, temanmu sejak awal disukai sama cah gendeng iku"
"cah gendeng mbah?" tanya Koco,
"apalagi kalau gak gendeng tuh bocah, aku tau perjalanan hidupnya sampai dia jadi begitu, saya sih bisa kalau adu ilmu, tapi ya, Gundik'colo ini" lelaki tua itu tertawa, ia melempar pocong yg Ruslan lihat dengan tulang ayam, "saya bisa mati"
"lalu bagaimana mbah?" tanya Koco,
"temanmu itu ilmunya juga lumayan, dia pasti ada alasan kenapa mau, kalau dipelet sih, gak yakin aku, pasti ada yg dia sembunyikan" kata si mbah, sekarang, ia melempar apapun kearah pocong diluar rumah, Ruslan bingung, seperti ia sengaja
Koco sudah tidak bicara lagi, namun kemudian, Ruslan mengatakan apa yg seharusnya ia katakan dari tadi,
"mbah bilang tadi tahu perjalanan hidupnya, mbah kenal sama mbak Lastri?"
setelah Ruslan mengatakan itu, lelaki tua itu berhenti bermain sama pocong di depannya, ia diam
"ia saya kenal dia" lelaki tua itu kini duduk, ia menutup pintu setelah meludahi pocong yg mau masuk ke rumah, "guru saya yg membantunya menjadi Gundik'colo seperti sekarang, namun itu semua, atas dasar keinginannya sendiri"
"Lastri, sebenarnya, seusia sama saya"
"kalian ada rokok" sahut lelaki tua itu,
Ruslan memberi tanda pada Koco, Koco langsung tahu maksud Ruslan, ia meraba saku celana, mengeluarkan sebatang rokok, memberikannya pada lelaki tua itu, ia menghisap rokok sebelum mengatakannya
"Lastri bukan yg pertama di kampung ini"
"maksudnya mbah" tanya Ruslan,
"Lastri bukan Gundik'colo pertama di sini, karena, dulu, sudah ada Gundik'colo juga sebelum Lastri"
Koco beringsut mundur, Ruslan apalagi, lehernya meremang, merinding, satu Gundik'colo saja sudah gak waras, ini, malah sudah ada sebelumnya
"lalu, bagaimana akhir Gundik'colo sebelumnya mbah?" tanya Ruslan, Koco hanya bisa menelan ludah, di rumah kayu itu, mendadak, hening, sepi sekali, bahkan, api petromax bergoyang tidak normal, lelaki tua itu tampak berpikir sebelum
"Lastri ada di depan, sebaiknya kalian kembali"
lelaki tua itu berdiri, ia membuka pintu, jauh di sana, mbak Lastri berdiri di teras rumah, matanya kosong melihat kearah pintu, lelaki tua itu menatap Ruslan dan Koco,
"saya tidak bisa membantu banyak, temanmu, dia sudah ada di rumah, masalah ini, coba selesaikan dengannya"
Ruslan melirik ketika ia berpapasan dengan Lastri yg kemudian masuk ke rumah lelaki tua itu, ia mendengar Lastri menggumamkan sebuah nama, "Pornomo", jadi, nama lelaki tua itu adalah Pornomo, untuk apa, Lastri masuk ke rumahnya, apakah ada sesuatu yg mau mereka bicarakan,
"Edan!! aku jek gak percoyo, Gundik'colo jek onok, mese onok 2 pisan nang deso iki, gendeng" (Parah!! aku masih gak percaya, Gundikcolo masih ada, malah ada 2 lagi di desa ini, Gila) kata Koco di atas motor,
Ruslan, hanya berucap "nyocot!!"
Koco diam,
setelah Koco mengantar Ruslan, ia kembali ke rumah itu, melewati kebun jati sendirian, dari jauh, rumah itu sudah bisa dilihat, pintunya terbuka, tepat ketika Ruslan melewati pintu, ia melihat Agus, tengah duduk seperti menunggunya..
"tekan ndi?" (darimana?)
"cari rokok gus"
Agus hanya mengangguk, seakan tidak mau mendebad Ruslan, ia masuk ke kamar, sebelum masuk, Agus mengatakannya, "awakmu turu nang sebelah yo, aku kepingin turu ijen" (kamu nanti tidur di kamar sebelah ya, aku ingin sendirian)
Ruslan tidak menjawab, Agus berbeda,
berjam-jam sudah berlalu, Ruslan masih belum bisa memejamkan matanya, lantas, ia tiba-tiba merasa harus tahu, apa yg ada di dalam rumah itu, apa yg di jaga sampai yg jaga harus perempuan seperti itu,
Ruslan beranjak dari ranjang, lantas, ia berpikir untuk memeriksanya saja,
ia melewati kamar Agus, berjalan pelan-pelan, saat, Ruslan merasa ada yg salah, ia kembali, membuka gorden yg menutupi kamar Agus, disana, Ruslan terhenyak, melihat Agus duduk bersila di atas ranjang, di depannya, darah berceceran,
Agus memuntahkan darah dengan mata terpejam
"he cok koen lapo cok" Ruslan mendekati Agus, menepuk2 pipinya, namun, Agus seperti tidak sadarkan diri,
Ruslan kebingungan, lantas ia buru-buru mengambil segelas air ke dapur, meminumkannya pada Agus, namun, ia terus memuntahkannya, tiba2, terdengar suara Lastri berteriak,
Agus belum juga sadar, namun diluar, pintu depan digedor-gedor dengan keras, suara Lastri berteriak seperti orang tengah marah
Ruslan mendekati pintu,
"BUKAK!!" "BUKAK GOBLOK!!"
Ruslan pun membuka pintu, Lastri langsung masuk, ia berjalan pincang, dengan tangan menyeret parang
Ruslan langsung menyusul Lastri, namun, Lastri keluara dari kamar dengan sendirinya, menyeret Agus, ia menjambak rambutnya yg panjang, Agus masih muntah darah, Ruslan mencoba menahan Lastri, namun, tatapan matanya, membuat Ruslan ngeri sendiri, "Mundur koen!!" (mundur kau!!)
"mbah isok diomongno apik apik mbah, gak usah gowo parang nggih" (mbah bisa dibicarakan baik baik mbah, tidak perlu pakai parang ya) ucap Ruslan,
Lastri berhenti, ia menatap Ruslan, menghunuskan parangnya, "mbah"
"mbak maksud kulo, mbak" (maksud saya mbak)
Lastri menyeret lagi
sampai di pintu rumah, Lastri melemparkan Agus, menyeret kakinya sampai ke perkarangan antara rumah Lastri dan rumah tempat tinggal mereka
Ruslan yg tidak tahu harus apa dengan situasi ini, lari masuk rumah, ia mengambil pisau di dapur, ia kembali, melihat Lastri sudah menghunus
parang yg Lastri pegang, terhunus di leher Agus,
Ruslan sudah gemetar, kalau sampai Agus di gorok, ia akan buat perhitungan, namun, rupannya, Lastri menjambak rambut gondrong Agus, lalu memotongnya dengan parang, Agus terjerembab jatuh ke tanah, ia berhenti muntah darah
Ruslan mendekati Lastri, menatap segumpal rambut yg ia pegang,
"kancamu kandanono, nang kene, ilmune gak onok apa-apane, mene nek wes sadar, gowoen nang mbah Pornomo"
(temanmu kasih tahu, disini, ilmunya gak ada apa2 nya, kalau sudah sadar, bawa dia ke mbah Pornomo)
Ruslan mengangguk, "nggih mbah" sahutnya, "eh, nggih mbak" Ruslan mengkoreksi ucapannya, kini ia menatap rambut yg masih ada ditangan Lastri, ia pergi, menjauh dengan kaki pincang,
Ruslan menggendong Agus kembali ke rumah. entah apa yg terjadi, Ruslan masih tidak mengerti
ditemani Koco, Agus dibawa ke rumah lelaki tua itu, ia sudah sadar, namun, ia seperti orang ling lung, wajahnya pucat, bahkan, Rusalan sudah mengajaknya bicara sejak tadi pagi namun, Agus hanya diam
mbah Pornomo hanya duduk memandangnya, ia menunjukkan kain kafan putih,
mbah Por, membuka kain kafan putih itu, didalamnya, ada segumpal rambut, Ruslan langsung tahu, itu adalah rambut Agus,
"nekat!!" ucap mbah Por, tanpa mengatakan apa2 lagi, mbah Por langsung menghantam kepala Agus, sebelum menekan hidungnya, tiba-tiba darah hitam keluar darisana,
mbah Por langsung menyesap hidung Agus, Ruslan dan Koco hanya bisa melihat kejadian itu, mereka tidak mau berkomentar, setelah selesai, mbah Por mengambil batok kelapa, memuntahkan isi mulutnya,
disana, ditengah-tengah genangan darah hitam kental, ada segumpal daging busuk
mbah Por membuang ludah sebelum membersihkan mulutnya dengan sapu tangan, ia meletakkan rambut hitam dan kain kafan di batok kelapa, membakarnya, dan tercium aroma yg wangi,
wangi sekali sampai Ruslan dan Koco bingung,
mbah Por kemudian meminumkan air putih, Agus sadar,
"piye" tanya mbah Por, "wes ngerti sopo sing nduwe lemah kui" (kamu sudah tahu siapa yg punya tanah itu)
Agus hanya diam, keringatnya mengalir deras, bibirnya gemetar,
"sudah lihat juga, Gundik'colo yg lain?" mbah Por masih bertanya,
Agus mengangguk
mbah Por berdiri, ia diam, kemudian mendekati Agus lagi, "boleh aku melihat apa yg kamu lihat"
Agus mengangguk
Ruslan dan Koco masih diam, ia melihat mbah Por, mencium tangan Agus seakan ia meminta restu, suasana menjadi hening, sangat hening sekali, Ruslan dan Koco, merinding
seperti tersedak, mbah Por melompat mundur, dibibirnya keluar darah, ia merangkak, seolah mau memuntahkan sesuatu, Agus dan yang lain sontak menolong mbah Por, memijat lehernya
mbah Por terus memukul dadanya, dan keluarlah gumpalan daging yg sama, daging colo' berlumurkan darah
"artine opo toh mbah?" tanya Ruslan,
"sing nduwe lemah, kate teko, njupuk opo sing kudu di jupuk" (yang punya tanah mau datang, mengambil apa yg harus dia ambil)
"nopo niku mbah?" (apa itu mbah)
mbah Por tampak berpikir, "Lastri"